Pages

2 Feb 2011

Lembar Kehidupan

Bismillahirrahmanirrahiim…

Tumpukan-tumpukan itu tlah usang kini, keadaaanmu sangat memprihatinkan dengan tubuh yang penuh debu, warnamu yang telah memudar karena usia. Dan pesan-pesanmu yang telah terlupakan. Sungguh malang nian nasibmu, tergambar kesedihan yang dalam pada wajahmu. Tapi dengan sabar dan tawakal kau coba untuk mengacuhkannya. Kau masih berprasangka baik pada tuanmu. Dan kamu masih setia menunggunya, berharap waktu akan menyadarkan kembali untuk menemuimu lagi. Meskipun kamu tak tau kapan hari itu akan datang ?,kesabaranmu sungguh tiada tara. Melebihi seorang Ibu yang membuai anaknya dalam peluknya hingga masa itu tiba, bahkan melebihi ketangkasan seorang Imam dalam memimpin keluarganya meski nyawa taruhannya. Kasih sayangmu tak terbatas seperti nafas yang telah memberi kehidupan, karena dalam prinsipmu tak ada kata “menyerah dan kalah”. Karena kaulah pemenang sejati. 

Dalam harapmu kau selalu berdoa : “Semoga lindungan dan petunjuk membimbingnya kembali padaku untuk kembali mengingatMu Ya Rabb”.

Kesedihan itu masih terlihat jelas disana, kulihat kondisimu yang tak juga terawat dengan baik seperti dulu. Di saat tuanmu masih sangat setia denganmu, tuanmu slalu meletakanmu di atas mushaf yang bersih dan indah seolah-olah kaulah pujaan hatinya. Merawatmu tanpa lelah dan membuka lembar demi lembar dengan lantunan suara yang paling merdu mengharapkan keridhaanNya.

Tapi entah mengapa tuanmu sekarang enggan untuk menyentuhmu, apalagi menciummu seperti dulu yang selalu dia lakukan sebelum membacamu, namun sekarang hal itu tidak pernah dilakukannya lagi. Padahal kamu sungguh sangat berarti untuknya.

Bukankah keabadian ada padamu?

Karena lewat dirimulah semuanya tergambar jelas. Seterang pengetahuanmu antara awal dan akhir kehidupan ini.

Bukankah semua hal ada padamu?

Pengetahuanmu tentang segala sesuatu tak di ragukan lagi. Kecerdasanmu melebihi semua profesor didunia ini. Dalam dirimulah Dia yang Esa telah memilihmu menjadi media untuk mengenal keagunganNya. Antara yang hak dan yang batil, antara yang halal dan yang haram. Sehingga kau pun berjuluk “petunjuk hidup”. Karena tanpamu bisa di pastikan kehidupan ini akan carut-marut tanpa pembimbing. Kaulah yang senantiasa menyusupkan kedamaian dalam tiap-tiap hati insanNya.

Sekarang tuanmu masih saja sibuk dengan aktivitasnya yang hampir menguras waktu 24 jam, sehingga tak ada waktu lagi untuk bercengkrama denganmu, tapi kamu masih memakluminya.

Hari ini mungkin tuanmu sedang asyik dengan hobinya sehingga lupa akan dirimu bahkan keluargapun kadang dilupakannya, dan kamu masih berharap dia akan mengingatmu lagi.

Dalam kesehariannya tuanmu sedang sibuk dengan bisnisnya yang telah menjelajah angkasa sehingga seolah kaupun tak ada. Tapi kau tak pernah kecewa. Padahal dalam dirimu terkandung hikmah Sang Maha Agung. Yang dengan takdirnya tlah mengubah tuanmu menjadi seperti sekarang ini.

Memiliki kesehatan yang tak semua orang memilikinya ?

Dikarunia keluarga yang tentram dan damai, dan tlah dicukupkan nikmatNya untuk tuanmu tanpa kurang satupun?

“Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa semua itu tidak kau dapat dengan keberuntungan?, melainkan kehendakNya lah yang telah memberikannya padamu”. Bisikku.

Memang benar anugerah itu merupakan ujian jika kita mampu menjaganya atau malah bisa jadi musibah jika kita terlena karenanya. Karena semua itu bertujuan supaya kau tidak melupakanNya dalam takdirmu.

Bahwa Dia sang Khalik yang telah mengatur semuanya. Mengajarkan kepadamu cara mensyukuri nikmat-nikmatNya bukan untuk lupa dan mengkufurinya.

Dengan hati-hati kau buka memori dulu tentang tuanmu, saat tuanmu masih hidup berkekurangan materi. Namun dulu tuanmu sangat setia denganmu selalu menjalankan kewajibannya 5 waktu. Bahkan sering sekali bercengkrama denganmu, hampir tiap waktu sehabis sholat fardlu. “Kalau boleh jujur aku sangat merindukan dirimu yang dulu tuanku”. Gumammu lirih. Dengan sabar tuanmu slalu menengadahkan kedua tanganmu di 1/3 malam akhir seraya meneteskan air mata yang jernih dan memohon ampunanNya. Aku sungguh sangat senang kala mengingat masa laluku bersamamu.

“Tapi mengapa engkau seperti ini tuanku” ?

Bukankah dengan semua anugerahNya yang telah diberikan padamu seharusnya kamu lebih berterima kasih kepadaNya ?

Tapi mengapa justru sebaliknya, kau malah asyik dengan semua itu. Semua hal tentang keduniawian, dengan segala pernak-perniknya. Lantas melupakanNya dalam setiap nikmat-nikmatmu.  

Bukankah dulu dalam setiap doamu kau tlah berjanji untuk senantiasa bersyukur padaNya dan mengingatNya dalam setiap nafasmu?.

Tapi mengapa kau mengingkarinya ?.

Mengapa.. ??!

Di saat kamu t’lah mendapatkan semuanya… Kamu malah melupakanNya.. Apakah ini yang disebut Anugerah sebagai cobaan ?

Tapi mengapa kadang kita sebagai manusia tak pernah merenungkannya ?

Masihkah kau ingat ?

Disaat cita-citamu belum juga terkabul padahal kau t’lah berdoa dan berusaha dengan sangat keras. Tapi Tuhanmu belum juga memberikannya.

Lantas kau dengan lantang memprotes ketentuanNya..

Kau berkata : “Tuhan tidak adiiillll” ??!!! dengan jeritan yang paling lantang.

Bukankah seharusnya kau berkaca ? mengoreksi diri dan mengevaluasinya…

Bukankah itu suatu pertanda bahwa Tuhanmu belum mengizinkannya. Bukan Dia enggan memberikannya. Karena Dia lebih tau tentang kamu, cita-citamu dan masa depanmu maka Dia mencari waktu yang paling tepat untukmu sehingga menundanya untuk beberapa waktu. Sehingga pada saat kamu mendapat anugerahNya kamu menyambutnya dengan senyum penuh keihlasan, agar jika waktumu tlah tiba semuanya itu di minta kembali padaNya ? dan kau tidak “menangisinya” karena sesungguhnya kau hanya diberikan amanah untuk menjaganya bukan memilikinya.

Nyawa ?

Harta ?

Keluarga ?

Sadarkah bahwa semua itu titipan ?

Tapi mengapa kau mengklaimnya seolah kau pemilik tunggalnya ?

Bukankah pada sebagian hartamu terdapat hak anak yatim ?

Bukankah kewajiban kita sebagai seorang muslim, agar kau mensucikan hartamu ? dengan memberi pada saudara kita yang berkekurangan.

Tapi mengapa kau sering menghardiknya ?

Mencemoohnya seolah kau paling mulia ?

Bukankah keimanan yang membedakannya ?

Supaya kita selalu mengingatNya.. ketika sedang berdiri.. duduk.. terbaring.. bahkan terkapar tak berdaya.. Asalkan “hayat masih di kandung badan” bukankah kita wajib menyembahNya. Yaitu Allah tiada sekutu bagiNya Tuhan semesta alam.

Sering kucoba tuk mengingatkan masa lalu itu padamu. Tapi ternyata hati tuanku masih beku. Kabut-kabut hitam itu belum juga berlalu… seolah bertambah tebal menyelimuti dinding-dinding hatinya. Hancur laksana besi yang terkikis oleh karat.  Entah apa yang membuat kabut itu belum juga berlalu.

Mungkinkah ?! penyebabnya :

Hati yang tak terjaga ?

Ataukah nafsu dunia yang meraja ?

Mungkin Syariat yang tak sempurna ?

Atau ilmu yang tiada berguna ?

Apakah hidup tanpa Lillahi ta’ala ?

Ataukah setan yang telah merasuknya ? mendarah daging bersama jiwa ?

Tanpa pernah kau menyadarinya ?

Hmm.. apapun itu…

Tapi aku masih sangat berharap kabut-kabut hitam itu hilang seiring kau kembali membacaku, berbagi cerita denganku akan kehidupanmu. Sehingga hatimu kembali bersinar, secerah mentari yang tampak sangat indah dan sinarmu yang sanggup memberi terang dunia. Semoga di sana tercermin akhlak2mu yang bijaksana. Sebagai hambaNya yang selalu mengharapkan keridhaanNya dalam setiap langkah-langkahmu, dan pada akhirnya bermanfaat bagi semua mahluk ciptaanNya dengan penuh keihlasan.

Dan menjadi bekalmu kelak saat memenuhi panggilanNya. Semoga hidayahNya kembali menuntunmu untuk mengingatNya dalam setiap helaan nafasmu dan menjadikanmu hambaNya yang di ridhai. Amin..

Alhamdullilah hirrabil’alamin..

Tanggalan